Putar Murotal, Hotel Syariah di Mataram Kena Tagihan Royalti Musik dari LMKN

Putar Murotal, Hotel Syariah di Mataram Kena Tagihan Royalti Musik dari LMKN
Ilustrasi Hotel yang ditagih royalti (Dok. Ist)


MediaWarta.id - Lembaga Manajemen Kolektif Nusantara (LMKN), sebagai badan resmi yang mengelola dan menarik royalti atas penggunaan lagu serta musik di ruang publik, kini tengah menjadi sorotan di kalangan pengusaha perhotelan di Mataram, NTB. 

Pasalnya, sejumlah hotel, termasuk hotel berbasis syariah, tetap dikenakan biaya royalti meskipun tidak memutar musik komersial, melainkan hanya lantunan ayat suci Al-Qur’an.

Salah satu yang merasakan kebijakan ini adalah Hotel Madani Mataram. General Manager hotel tersebut, Reza Fajar Firdaus, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima tagihan royalti sejak akhir Juli 2025. 

Jumlah yang harus dibayarkan mencapai Rp4,4 juta per tahun, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).

Tarif itu, jelasnya, dihitung berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki hotel. Dengan total 59 kamar, Hotel Madani masuk kategori hotel dengan 51-100 kamar, sehingga otomatis dikenai besaran tarif yang telah ditentukan LMKN.

“Tagihan yang keluar itu sebesar Rp4,4 juta per tahun, termasuk PPN. Tarif ini dihitung berdasarkan jumlah kamar, kami punya 59 kamar, jadi masuk kategori 51-100 kamar,” kara Rega.

Menurut Reza, alasan LMKN menetapkan tarif royalti karena setiap kamar memiliki televisi yang dianggap bisa digunakan untuk memutar konten berhak cipta. Namun, kenyataannya, pihak hotel tidak pernah memutar lagu atau musik komersial.

“Masalahnya, walaupun tamu tidak memutar musik atau kita hanya memutar murotal, tetap dikenakan,” terang Rega.

Ia menambahkan, keberadaan musik di hotel bukanlah sesuatu yang vital. Para tamu datang untuk menginap, bukan untuk menikmati hiburan musik. Bahkan, setelah pihaknya menghentikan pemutaran musik, tidak ada tamu yang merasa keberatan.

Kebijakan penarikan royalti ini dinilai cukup memberatkan, terutama bagi hotel-hotel kecil yang beroperasi dengan keterbatasan anggaran. 

Menurut Reza, biaya tambahan seperti ini justru menambah beban di tengah kondisi bisnis perhotelan yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi dan perlambatan ekonomi.

Kasus ini memunculkan kembali perdebatan mengenai penerapan aturan royalti musik di ruang publik, khususnya di sektor perhotelan. 

Di satu sisi, LMKN memiliki mandat resmi untuk menyalurkan hak cipta musisi dan pencipta lagu melalui mekanisme pembayaran royalti. Namun, di sisi lain, implementasinya seringkali tidak mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan.

Bagi hotel-hotel syariah, yang umumnya hanya memutar lantunan ayat suci atau murotal, kebijakan ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan.

Apalagi jika penggunaan televisi hanya terbatas pada siaran informasi atau program religius yang tidak mengandung unsur musik berhak cipta.

0 Komentar


Dapatkan Informasi Terkait Berita Indonesia Terkini dan Terupdate Tahun Ini , trending, serta terpopuler hari ini dari media online MediaWarta.id melalui platform Google News