![]() |
| Eks kepala SMK PGRI 2 Ponorogo (Dok. Ist) |
MediaWarta.id - Kasus korupsi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SMK PGRI 2 Ponorogo memasuki babak baru.
Meski sudah dijatuhi hukuman penjara 12 tahun, mantan kepala sekolah, Syamhudi Arifin, masih harus menghadapi konsekuensi hukum yang lebih berat apabila tidak mampu mengembalikan kerugian negara.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya dalam putusannya pada Selasa (23/12/2025) menegaskan bahwa Syamhudi diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp22,6 miliar lebih.
Jumlah ini merupakan sisa kerugian negara setelah dikurangi dana sekitar Rp3,1 miliar yang sebelumnya sudah dikembalikan oleh terdakwa.
Dalam perkara ini, kerugian negara akibat penyelewengan Dana BOS di SMK PGRI 2 Ponorogo tercatat mencapai Rp25,8 miliar.
Angka tersebut menunjukkan besarnya dampak korupsi yang dilakukan, khususnya terhadap sektor pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan sumber daya manusia.
Majelis hakim juga mengatur sanksi lanjutan apabila Syamhudi tidak mampu melunasi uang pengganti tersebut. Seluruh harta benda milik terdakwa dapat disita dan dilelang oleh negara untuk menutup kerugian.
Bahkan, jika nilai aset yang dimiliki masih belum mencukupi, ia terancam pidana penjara tambahan.
Pelaksana Harian Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Ponorogo, Furkon Adi Hermawan, menegaskan bahwa uang pengganti merupakan mekanisme penting dalam upaya memulihkan kerugian keuangan negara akibat korupsi.
Menurutnya, penyitaan dan pelelangan aset bukan hanya bentuk hukuman, tetapi juga upaya memastikan bahwa pelaku tidak memperoleh keuntungan sedikit pun dari perbuatannya.
“Apabila nilai aset yang telah dirampas belum menutup seluruh kerugian negara, jaksa akan melacak dan menyita aset lainnya,” ujar Furkon.
Sementara itu, pihak penasihat hukum Syamhudi Arifin menyatakan masih mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya.
Mereka mengambil waktu tujuh hari untuk menentukan apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan tersebut.
Apabila putusan ini nantinya berkekuatan hukum tetap, seluruh mekanisme penyitaan aset dan pidana tambahan akan segera dijalankan sesuai amar pengadilan.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa korupsi, terlebih di sektor pendidikan, tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masa depan generasi muda.
Negara menegaskan sikap tegas: pelaku tidak hanya dihukum badan, tetapi juga wajib mengembalikan seluruh kerugian yang ditimbulkan.

0 Komentar