![]() |
Larungan telaga Ngebel yang dilakukan setiap 1 Suro (Dok. Ist) |
MediaWarta.id - Setiap memasuki bulan Suro, ribuan warga Ponorogo dan sekitarnya berkumpul di Telaga Ngebel untuk mengikuti tradisi tahunan Larungan.
Telaga yang indah dan sejuk ini menjadi saksi tradisi sakral yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat.
Sejak pagi, warga berdatangan bersama keluarga dan teman-teman. Mereka tak hanya datang untuk menikmati pemandangan telaga, tapi juga ikut memeriahkan acara berebut 22 gunungan hasil bumi yang digelar setahun sekali.
Gunungan itu dibuat dari berbagai hasil pertanian seperti tomat, terong, jeruk, dan sayur mayur lainnya.
Semua bahan disusun menjadi bentuk "buceng" atau tumpeng raksasa, sebagai simbol rasa syukur masyarakat Ponorogo atas berkah alam dan rezeki dari Tuhan.
Namun, ada satu buceng yang berbeda. Buceng ini terbuat dari beras merah dan tidak ikut diperebutkan.
Sebaliknya, buceng tersebut dilarung atau dihanyutkan ke tengah telaga sebagai bentuk sedekah untuk makhluk-makhluk yang hidup di alam, terutama di Telaga Ngebel.
Salah satu warga, Melinda Sari dari Desa Ngebel, mengaku sangat merindukan suasana tradisi ini.
Tradisi Larungan ini tidak hanya sekadar ritual, tapi sudah menjadi pesta rakyat. Perpaduan antara ibadah, budaya, dan hiburan membuat acara ini begitu meriah namun tetap sakral. Suasana telaga penuh dengan tawa, sorak-sorai, dan rasa kekeluargaan.
Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, atau yang akrab disapa Kang Giri, juga hadir dalam acara tersebut.
Ia menjelaskan bahwa tradisi Larungan ini adalah bentuk rasa syukur dan sedekah bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada alam dan semua makhluk ciptaan Tuhan.
"Larungan ini bukan sekadar acara. Ini bentuk kita berbagi dengan alam, dengan sesama makhluk hidup. Sedekah itu tidak hanya untuk manusia, tapi juga untuk bumi dan seluruh isinya," tutur pria yang akrab disapa Kang Giri itu
Ia juga mengajak masyarakat menjadikan momen larungan sebagai waktu untuk introspeksi diri.
"Harapan kami, melarung semua masa lalu. Melarung semua keburukan, semua kesalahan, semua kekeliruan. Menatap 1 Muharram sebagai awal tahun Hijriah, saatnya kita hijrah dari yang tidak baik menjadi baik. Dari hal negatif ke hal positif. Menuju Ponorogo Hebat," tegasnya.
Di akhir acara, meski gunungan sudah tercerai-berai, warga masih antusias mengumpulkan sisa hasil bumi.
Bagi mereka, sepotong sayur atau buah dari gunungan bukan sekadar makanan, tapi simbol harapan, berkah, dan hubungan erat antara manusia, budaya, dan alam.
0 Komentar